Amr dan Nahy (Pengertian, Bentuk, Hukum dan Kaidah)
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Yulisa Rosalina (Tarbiyah, PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
Oleh: Yulisa Rosalina (Tarbiyah, PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Secara etimologi amr berarti perintah. Sedangkan secara
terminologi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan kapada
bawahannya utuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalimat amr dalam Al-Qur’an
ditandai dengan beberapa macam kalimat diantaranya mengunakan fi’il amr,
lam amr, kalimat yang menunjukkan perintah amara, farada,
dan perintah dengan kata (ikhbar).
Adapun Nahy secara etimologi artinya larangan. Sedangkan secara
terminologi ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih
tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Dalam
al-qur’an nahy ditandai dengan beberapa bentuk. Ayat hukum dalam al-qur’an
dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga sunnah Rasulullah ada yang
berbentuk amr (perintah) dan ada pula yang berbentuk nahy
(larangan). Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
1.
Apa
pengertian Amr dan Nahy?
2.
Apa saja
bentuk-bentuk Amr dan Nahy?
3.
Adakah
hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk Amr dan Nahy?
4.
Apa saja
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr danNahy?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Amr
1.
Pengertian
Amr (Perintah).
Amr menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut
istilah, amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya.[1]
Pengertian
amr menurut beberapa ahli
a.
Menurut ulama
Ushul fiqh, amr adalah: Sesuatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[2]
b.
Menurut
Al-Ghazali memberikan pengertian sebagai berikut : Al-amr itu ialah ucapan atau
tuntutan yang secara substansial agar mematuhi perintah dengan mewujudkan apa
yang menjadi tuntutanya dalam perbuatan.
Pandangan Al-Ghazali ini memberikan pemahaman bahwa al-amr
merupakan perintah yang menuntut untuk dipatuhi sesuai dengan apa yang menjadi
kandungan dari perintah tersebut.
c.
Menurut
Mustafa al-khind menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan amr, ialah tuntutan
untuk berbuat yang datang dari yang lebih tinggi tingkatannya.
Pengertian yang diberikan oleh Mustafa Said al-Khind ini
menjelaskan bahwa tuntutan untuk berbuat itu datang dari pemegang otoritas
lebih tinggi tingkatannya, yaitu Allah Swt sebagai pembuat hukum.
d.
Menurut Abdul
Karim Zaidan bahwa al-amr itu ialah: suatu lafal (ucapan) yang dipakai sebagai
tuntutan untuk melakukan perbuatan yang datang dari derajat yang lebih tinggi
tingkatannya.[3]
Jadi dapat disimpulkan amr adalah kalimat yang menunjukkan
suatu perintah untuk berbuat sesuatu yang datang dari yang lebih tinggi, yaitu
Allah swt. Kepada yang lebih rendah, yaitu manusia.
2.
Bentuk-bentuk
al-Amr
Kalimat perintah dalam Al-qur’an ditandai dengan beberapa
macam kalimat diantaranya menggunakan fi’il amr, lam amr, kalimat
yang menunjukkan perintah amara, farada, dan perintah dengan kata
(ikhbar). Berikut beberapa bentuk-bentuk amr, yaitu:
a.
Dengan menggunakan
fi’il amr yaitu kata kerja bentuk perintah, seperti dalam firman Allah
Swt. Sebagai berikut:
(حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Artinya:”peliharalah semua shalat (mu),
dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”. (Q.s
Al -Baqarah: 238)
b.
Kalimat amr
menggunakan lam amr, seperti dalam firman Allah Swt. Sebagai berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ
Artinya:”Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.....”.(Q.s
Al-Baqarah: 282).
c.
Kalimat amr
menggunakan kata amara dan farida, seperti dalam firman Allah
Swt. Sebagai berikut.
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Artinya:“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan
diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s At-Tahrim:
2)
d.
Kalimat amr
menggunakan kata ikhbar, seperti dalam firman Allah Swt. Sebagai
berikut.[4]
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya:“padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(Q.s Al-Imran: 97)[5]
3.
Hukum-hukum
yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk Amr.
a)
Menunjukkan
hukum wajib seperti perintah untuk shalat.
b)
Untuk
menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.
c)
Sebagai
anjuran.
d)
Sebagai
ejekan dan penghinaan.[6]
4.
Kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan amr.
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu
dari bentuk perintah tersebut, maka seperti yang dikemukakan Muhammad Abid
Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan, yaitu:
a)
al-ashlu
fil amri lil-wujuubi (الأصل قى الأمر للوجوب), meskipun suatu perintah
bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah
menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya dari hukum tersebut.
b)
menurut
jumhur ulama Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus
berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
c)
Suatu
perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain
yang menunjukkan untuk itu, karena yang di maksud oleh suatu perintah hanyalah
terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.[7]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan amr yaitu apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu
dari bentuk perintah tersebut. Maka suatu perintah menunjukkan hukum wajib
dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum
tersebut.
B.
Nahi
(Larangan)
1.
Pengertian
Nahi.
Nahi dari segi bahasa artinya larangan. Sedangkan menurut
syara’ nahi ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.[8]
pengertian
nahy menurut beberapa para ahli :
a.
Menurut Zaky
al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Nahy ialah: Sesuatu tuntutan
yang menunjukkan (mengandung) larangan untuk berbuat.
b.
Menurut ulama
Ushul fiqh mendefinisikan nahy sebagai berikut: Nahy ialah Larangan melakukan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatanya
dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jadi dapat saya simpulkan nahy adalah kalimat yang
menunjukkan larangan untuk berbuat sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya. Maksudnya yaitu Allah swt melarang
manusia untuk berbuat sesuatu yang melangar perintahnya.
2.
Bentuk-bentuk
nahy
Nahy itu merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka pada
bagian ini diuraikan berberapa bentuk nahy. Diantaranya :
a.
Larangan
secara tegas dengan menggunakan kata nah ((نهى atau
yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti malarang. Misalnya firman
Allah swt dalam Q.s an-Nahl: 90
۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
b.
Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. misalnya firman Allah swt
dalam Q.s al-A’raf: 33
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui”.(Q.s
al-A’raf: 33)
c.
Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ (kata kerja untuk sekarang/ mendatang)
yang disertai huruf lam yang menunjukan larangan. Misalnya firman Allah
swt dalam Q.s al-An’am: 152
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa.”. (Q.s al-An’am: 152)
d.
Kalimat nahi
menggunakan kalimat amr. Firman Allah dalam Q.s al-Maidah: 90
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.s
al-Maidah: 90).[9]
3.
Beberapa
kemungkinan hukum yang ditunjukkan bentuk Nahy.
a)
Untuk
menunjukkan hukum haram.
b)
Sebagai
anjuran untuk meninggalkan.
c)
Penghinaan.
d)
Untuk
menyatakan permohonan.
4.
Kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan Nahy (Larangan).
a)
Al-ashlu
fil nahyi lil-tahriimi ( الأصل فى النهى للتحريم,), pada dasarnya suatu larangan menunjukkan
hukum haram yang melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang
menunjukkan hukum lain.
b)
Suatu
larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika
dikerjakan.
c)
Suatu
larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.[10]
Jadi dapat saya simpulkan bahwa kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan nahy (larangan) pada dasarnya menunjukkan suatu larangan
untuk melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan
suatu hukum yang lain.
PENUTUP
A. Simpulan
Amr
adalah suatu perintah untuk berbuat sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya
kepada yang lebih rendah tingkatanya. Bentuk-bentuk pada amr terdapat empat
bentuk, yaitu:
a.
Kalimat amr
menggunakan fi’il amr.
b.
Kalimat amr
menggunakan lam amr.
c.
Kalimat amr
menggunakan kata amara dan farida.
d.
Kaliamt amr
menggunakan kata ikhbar.
Adapun
nahy yaitu suatu larangan untuk melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kapada yang lebih rendah tingkatannya. Bentuk-bentuk pada
nahy terdapat empat bentuk, yaitu:
a.
Larangan
secara tegas dengan menggunakan kata naha ((نهى atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti malarang.
b.
Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
c.
Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ (kata kerja untuk
sekarang/mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukan larangan.
d.
Kalimat nahi
menggunakan kalimat amr.
REFERENSI
Al-Qur’an
digital Versi 2.0. 2004
Efendi, M. Zein, Satria. 2005. Ushul
Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hanafie. 1980. Ushul Fiqh. Jakarta:
Bumirestu.
M. Rizal Qosir. 2006. Fikih. Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul
Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Romli. 2006. Ushul Fiqh (Metodelogi
Penetapan Hukum Islam). (Palembang: IAIN Raden Fatah press.
[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hlm. 200.
[2] Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), hlm. 178.
[3] Romli, Ushul Fiqh (Metodelogi Penetapan Hukum Islam),
(Palembang: IAIN Raden Fatah press, 2006), hlm. 166.
[4] M. Rizal Qosir, Fikih, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2006), hlm. 89-90
[5] Al-Qur’an digital Versi 2.0, 2004.
[6] Satria efendi, M. Zein, op. Cit, hlm. 183.
[7] Ibid, hlm. 186.
[8] Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bumirestu, 1980), hlm. 44.
[9] Al-Qur’an digital Versi 2.0, 2004
[10] Ibid, hlm. 190-194.